Minggu, 16 Februari 2020

Screening Mikrobiologi


Screening adalah sejenis tes yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik atau mikroorganisme dalam sejumlah besar spesimen. Tes skrining relatif mudah dan tidak mahal (peralatan yang dibutuhkan tidak terlalu rumit). Beberapa tes skrining masih dapat dilanjutkan dengan tes lain yang lebih spesifik. (Margino, 2008).
Screening Metabolit Sekunder (Antibiotik) Oleh Isolat Jamur Endofit (Margino,2008)
a. Tahap Persiapan
Ranting tanaman dipotong sepanjang 1 cm. Untuk mensterilkan permukaan, potongan ranting direndam di dalam larutan Byclean atau Chlorox 5 % selama 5 menit, diikuti dengan perendaman dalam air steril selama 2 menit, entanol 70% selama 1 menit, dan air steril selama 2 menit. Potongan yang telah disterilkan dihilangkan ekses airnya dan selanjutnya dibelah menbujur menjadi 2 bagian. Inokulasi dilakukan dengan cara meletakkan permukaan belahan pada permukaan medium CMM (corn meal malt extract) agar untuk isolasi fungi atau Nutrien agar untuk isolasi bakteri. Inkubasi dilakukan selama 4-7 hari. Koloni mikrobia diisolasi dengan ose, selanjutnya isolat fungi dipelihara pada medium PDA miring dan isolat bakteri dipelihara pada Nutrien agar miring sebagai kultur stok murni (Bacon, 1988; Margino, 1997).
b. Tahap Screening
Langkah pertama seleksi dilakukan dengan teknik “paper disc diffusion technique”, yakni dengan jalan mencelupkan paper disc ke dalam supernatan dan hindarkan ekses air. Paper disc yang sudah bebas ekses air diletakan pada medium yang mengandung mikrobia indikator Bacillus subtilis, Candida albicans, dan Fusarium oxysporum f.sp. licopersicae dan diinkubasi pada suhu kamar, selama 2 hari. Terbentuknya zona jernih di sekitar paper disc menggambarkan adanya aktivitas penghambatan oleh senyawa antimikrobia (antibiotik) terhadap mikroba indikator. Seleksi isolat dilakukan dengan mengkompilasi hasil uji ini. Isolat yang memiliki nilai rasio lebih besar 4 menjadi kandidat isolat unggul.

Isolasi Dan Penapisan Aktinomisetes Laut Penghasil Antimikroba(antibiotik)
a. Tahap Persiapan
Lima gram tiap sediment laut diambil pada kedalaman rata-rata 20-50cm. Masing-masing sampel ditempatkan pada falcon tube 15mL dan ditutup rapat. Sampel disimpan dalam ruang dingin sebelum dilakukan proses isolasi.
Sebanyak 1 gram padatan sampel dipisahkan air lautnya dengan cara didekantir. Empat mililiter air steril ditambahkan ke dalam sampel tersebut dan diaduk selama 10 menit dan didiamkan sampai suspensi mengendap. Sebanyak 1 ml cairan sampel diambil dan diencerkan dengan air steril sebanyak 4 mL. Proses pretreatment dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara asam dan pemanasan. Pretreatment dengan cara asam dilakukan dengan penambahan asam klorida sampai pH 2 dan didiamkan selama 2 jam. Pretreatment dengan cara panas dilakukan mengacu pada metode Pisano et al. (1986) yang dimodifikasi, yaitu dengan memanaskan cairan sampel pada suhu 650C selama 60 menit.
Cairan sampel yang telah ditreatment selanjutnya diencerkan secara seri dari 10-1 sampai dengan 10-5. Selanjutnya 0.1 ml sampel yang telah diencerkan, di-sebarkan pada permukaan agar media isolasi. Komposisi media agar untuk isolasi adalah sebagai berikut; 10 gr soluble starch, 2 gr pepton, 4 gr yeast ekstrak, 16 gr agar dalam 1000 mL air laut. Medium tersebut ditambahkan juga beberapa antibiotik 100 µgr/ml cy-cloheximide, 25 µgr/ml nistatin, 100 µgr/ml nalidic acid, dan 5 µgr/ml rifampin. Antibiotik ditambahkan setelah medium agar disterilisasi. Inkubasi dilakukan pada suhu 300 C dalam inkubator. Koloni aktinomisetes yang tumbuh dipisahkan dan dipindahkan ke dalam medium agar yang baru dengan menggunakan marine agar. Pemindahan dilakukan sampai diperoleh koloni tunggal
Koloni aktinomycetes yang telah dimurnikan lalu ditumbuhkan pada medium broth YEME selama 2 hari, dan ditransfer ke medium fermentasi dengan komposisi medium Bacto peptone 15 gr/L, yeast extract 3 gr/L, Fe citrate n H2O 0,3 gr/L, demin water 250mL, dan air laut 750mL. Fermentasi dilakukan selama 5 hari dengan inkubasi pada suhu 300C. Broth fermentasi dikeringkan dengan freeze drying dan diekstraksi dengan metanol. Ekstrak dalam metanol siap diuji aktivitasnya.

b.  Tahap Screening
Tahapan penapisan(screening) aktinomisetes penghasil anti-mikroba dilakukan dengan uji antibakteri dan antijamur dengan metode kertas cakram. Mikroba uji yang biasa digunakan untuk mengetahui keefektifitasan actinomycetes adalah Eschereschia coli, Streptococcus aereus, Pseudomonas aeroginosa, Bacillus subtilis, Aspergillus niger, dan Candida albican. Eschereschia coli, Streptococcus aereus, Pseudomonas aeroginosa,
Bacillus subtilis ditumbuhkan pada media nutrien agar dan Aspergillus niger, dan Candida albican ditumbuhkan pada Potato Dextrose Agar. Keduanya dilakukan dengan metode pour plate methods.
Setelah itu, Sebanyak 15 µL ekstrak sampel diteteskan dalam kertas cakram berukuran 6 mm, kemudian dikeringkan. Selanjutnya diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasikan mikroba uji. Inkubasi dilakukan pada suhu 300 C selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji diukur diameternya.
            Setelah terbentuknya zona bening lalu ditentukan Minimum Inhibition Concentration.
Minimum Inhibition Concentration (MIC) ditentukan dengan cara melarutkan ekstrak broth pada berbagai konsentrasi yaitu dari konsentrasi 10.000 µg/ml sampai dengan 100 µg/ml. Masing-masing konsentrasi diuji aktivitas antibakterinya menggunakan metode difusi agar. Diameter kertas cakram yang digunakan adalah 6 mm. Zona bening yang terbentuk diukur diameternya. Selanjutnya dibuat kurva Log [C] (kon-sentrasi) sebagai sumbu Y melawan X2 (diameter zona bening) sebagai sumbu X. Titik potong sumbu Y pada X=0 merupakan nilai Log MIC. Metode penentuan MIC ini mengikuti Bonev et al., 2008 yang dimodifikasi.


Metode Screening Bakteri Yang Berasosiasi Dengan Spons Jenis Aplysina sp (Devin et al, 2012)
a. Tahap persiapan
Spons dimasukan kedalam kantong plastik steril kemudian disimpan di dalam ice box dan dibawa ke laboratorium. Bakteri yang terdapat pada sampel spons diinokulasi pada media NA dengan metode agar tuang (Lay,1994). Sampel spons dihaluskan dengan menggunakan blender, kemudian diambil sebanyak 1 gr dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut. Dilakukan pengenceran hingga konsentrasi menjadi 10-6,  Kemudian sampel diinokulasi dengan metode agar tuang, diambil sebanyak 1 ml untuk diinokulasi pada media NA dalam cawan petri  15 ml secara aseptik kemudian diinkubasi pada suhu 370C di dalam inkubator selama 2 x 24 jam. Setelah itu isolat dimurnikan yang bertujuan untuk memisahkan hasil inokulasi yang terdiri dari banyak koloni bakteri yang berlainan jenis sehingga didapat koloni bakteri murni pada setiap biakan bakteri. Koloni bakteri yang diambil untuk dimurnikan adalah koloni yang dominan. Pemurnian dilakukan dengan menggunakan metode streak. Setelah itu dilakukan inokulasi bakteri uji dan bakteri yang akan diuji pada media NB sehingga diperoleh suspensi bakteri uji dan suspensi bakteri yang akan diuji (Nofiani et al. 2009).
b. Tahap screening
Bakteri uji yang digunakan harus mewakili bakteri gram positif dan gram negatif. Suspensi bakteri uji diambil sebanyak 200 μl dan dimasukan kedalam 15 ml NA yang mulai mendingin namun masih cair kemudian dikocok hingga merata dan dituangkan ke cawan petri kemudian dibiarkan hingga membeku. Setelah membeku letakkan kertas cakram yang telah dibasahi dengan suspensi bakteri spons yang akan diuji kemudian diinkubasi selama 24 jam, setelah diinkubasi dilihat apakah terdapat zona bening disekitar koloni bakteri yang diuji yang tumbuh disekitar kertas cakram.  Jika terdapat zona bening maka bakteri tersebut menghasilkan senyawa bioaktif sebagai antibakteri (Nofiani et al. 2009).


Metode Skrining Bakteri yang Berasosiasi dengan Spons Jaspis sp. Sebagai
      Penghasil Senyawa Antimikroba(Abubakar et al, 2011)
a. Tahap Persiapan
Spons Jaspis sp. diambil menggunakan pisau steril dengan ukuran panjang sampel  5–10 cm Sampel kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel (Whirl-Pak, Nasco, USA) yang telah diisi oksigen murni, selanjutnya ditempatkan dalam cool box untuk analisis  di Laboratorium. Setelah itu dilakukan Isolasi bakteri dari sampel spons tersebut. Permukaan sampel spons disemprot air laut steril dengan perbandingan ukuran spons 1 cm2 : 5 ml air laut steril, sehingga hanya bakteri dengan daya gabung yang kuat saja yang akan tersampling. Bagian mesohil diambil dengan ukuran + 1x1 cm, digerus dan diencerkan dengan Phospat Buffer Saline (PBS) steril dengan perbandingan 1:1 (Kim et al., 2006). Isolasi bakteri dari permukaan luar menggunakan swab steril (Wahl et al., 1994), yang diusapkan dengan satu arah pada permukaan luar spons. Swab steril yang telah diusapkan pada permukaan sampel dimasukkan ke dalam tabung pengenceran yang berisi PBS steril dan divorteks . Hasil pengenceran disebar ke dalam cawan petri yang telah berisi media Sea Water Complit (SWC) dengan komposisi 1 liter media terdiri dari 5 gr/l bacto pepton, 1 gr/l yeast extract dan 3 ml/l glycerol, dan diinkubasi pada suhu 26oC selama 24-36 jam dan diamati pertumbuhan koloni bakterinya. Setiap koloni bakteri yang tumbuh dipisahkan berdasarkan warna, ukuran dan bentuk koloni, serta dimurnikan dengan menggunakan media yang sama.
b. Tahap Screening
Screening dilaksanakan dengan pengujian aktivitas antagonis terhadap bakteri dan khamir patogen dilakukan secara kualitatif modifikasi Marinho et al., (2009), dengan menggores Isolat pada permukaan media yang telah disebar dengan bakteri uji. Bakteri uji yang digunakan terdiri dari bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli, Pseudomonas aerogenosa patogen manusia  serta bakteri Gram positif yaitu Staphylococcus aureus patogen  dan S. aureus . Penguiian aktivitas antikhamir menggunakan khamir uji Candida albicans yang ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Aktivitas antagonis terhadap bakteri dan khamir diindikasikan dengan terbentuknya zona jernih disekitar koloni isolat murni.


KESIMPULAN
Screening adalah sejenis tes yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik atau mikroorganisme dalam sejumlah besar spesimen. Tes skrining relatif mudah dan tidak mahal (peralatan yang dibutuhkan tidak terlalu rumit). Beberapa tes skrining masih dapat dilanjutkan dengan tes lain yang lebih spesifik.
Metode Skrining diantaranya :
-        teknik “paper disc diffusion technique”,
-        uji antibakteri dan antijamur dengan metode kertas cakram
-        pengujian aktivitas antagonis terhadap bakteri dan khamir patogen dilakukan secara kualitatif modifikasi
Metode Skrining pada mikroba sebelum dilakukan diperlukan tahap persiapan terlebih dahulu . Tahap persiapan biasanya sangat tergantung dengan jenis mikroorganisme dan karakteristiknya, misalnya dalam uji pewarnaan gram untuk bakteri, keasaman, temperatur, dan karakter mikroorganisme lainnya.



DAFTAR PUSTAKA
Abu bakar et al, 2011. Skrining Bakteri yang Berasosiasi dengan Spons Jaspis sp. Sebagai
             Penghasil Senyawa Antimikroba. ILMU KELAUTAN. Vol. 16 (1) 35-40
Defin et al, 2012. Penapisan Bakteri yang Bersimbiosis dengan Spons Jenis Aplysina sp
             sebagai Penghasil Antibakteri dari Perairan Pulau Tegal Lampung. Sumatera selatan.
             Universitas sriwijaya, Palembang
Kim, T.K., Hewavitharana, A.K., Shaw, P.N., & Fuerst, J.A. 2006.Discovery of a new source
             of rifamycin antibiotics in marine sponge actinobacteria by phylogenetic prediction.
             Appl. Environ. Microbiol., 72: 2118–2125
Lay. B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 167
             hlm.
Margino, S., 1997. "Tropical bioresources consevation for production useful materials".
             Training report. November 2-14 1997. Lab. Of Bioscience and Biochemistry, Faculty
             of Agriculture, Hokkaido University, Sapporo, Japan
Bacon, F. W., 1988. Procedur of Isolating the Endophytes from Tall Fescue and Screening
             Isolates for Ergot Alkaloids. Appl. Environ. Microbiol., 54:2615-2618
Margino, Sebastian. 2008. Produksi metabolit sekunder (antibiotik) oleh isolat jamur endofit
             Indonesia. Majalah Farmasi Indonesia, 19(2), 86 – 94, 2008
Marinho, P.R., Paula, A., Moreira, B., Lúcia, F., Costa,P., & Muricy, G. 2009. Marine
            Pseudomonas putida: a potential source of antimicrobialsubstances against antibiotic
            -resistant bacteria.Mem. Inst. Oswaldo Cruz., 104: 678-682
Nofiani. R, Nurbetty. S, Sapar. A. 2009. Aktifitas Antimikroba Ekstrak Metanol Bakteri
             Berasosiasi Spons Dari Pulau Lemukutan Kalimantan Barat. Universitas Tanjung
             Pura: Pontianak.
Pisano. M. A., Michael. J.S., & Madelyn. M.L., 1986. Application of pretreatments for the
             isolation of bioactive actinomycetes from marine sediments. Appl Microbiol.
             Biotechnol 25:285-288
Wahl, M., Jensen, P.R., Fenical, W.1994. Chemical control of bacterial epibiosis on
             Ascidians. Mar. Ecol. Prog. Ser., 110: 45–57.

Apa itu Preservasi Mikroba ?


Kumar, S (2013) Preservasi mikroba adalah metode utama untuk mempertahankan eksistensi dan kehidupan sel mikroba. Preservasi dilakukan sebelum ke fase pemeliharaan. Secara umum preservasi mikroba bertujuan untuk menumbuhkan mikroba, dan menjaga sel mikroba agar terhindar dari faktor penghambat (kontaminan, dan molekul yang tidak diperlukan). Preservasi mikroba sangat diperlukan bagi dunia industri untuk mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan (metabolit primer maupun metabolit sekunder). Lebih detailnya preservasi mikroba menjaga mikroba yang digunakan pada industri agar tidak terjadi perubahan genetis dikarenakan mikroba mudah bermutasi karena pengaruh lingkungan, sehingga informasi gen yang diinginkan pada suatu mikroba tetap terjaga. Sejarahnya metode preservasi mikroba sudah berkembang dalam dekade terakhir di dunia industri. Fase yang paling utama pada preservasi kultur mikroba ialah fase pertumbuhan, fase pengeringan, dan fase pendinginan berkelanjutan. 


Machmud, M (2001) menjelaskan bahwa para ahli mikrobiologi memiliki metode pembuatan dan penyimpanan koleksi (preservasi) yang sesuai untuk menjaga agar biakan mikroba tetap hidup, ciri-ciri genetiknya tetap stabil dan tidak berubah, serta hemat biaya dan tenaga. Metode preservasi yang digunakan sangat tergantung pada sifat mikroba dan tujuan preservasi. Tujuan koleksi dan preservasi meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Preservasi jangka pendek dilakukan untuk keperluan rutin penelitian yang disesuaikan dengan kegiatan program atau proyek tertentu. Sedangkan preserbasi jangka panjang dilakukan untuk konservasi plasma nutfah mikroba, sehingga jika pada suatu saat informasi genetik diperlukan, akan dapat diperoleh kembali atau dalam keadaan tersedia. 



DAFTAR PUSTAKA 

Kumar, S et al, 2013. Analyzing Microbes. Chapter 11 : Preservation and Maintenance of Microbial Cultures. Springer Protocol. DOI. 10.1007/978 -3-642-34410-7_11 

Machmud, M. 2001. Buletin AgroBio. Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikorba 4(1) : 24-32. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor

Pengawetan Makanan (Kajian Pustaka)


Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka Tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Dalam keadaaan demikian, makanan cepat saji (instan) yang telah diolah dipabrik atau telah diawetkan banyak manfatnya bagi masyarakat itu sendiri.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur. Pengertian bahan pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian, penggunaan bahan pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan memeperpanjang umur simpan bahan pangan. Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghenrtikan proses fermentasi, pengasaman, atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan (Margono, 2000).



PEMBAHASAN
Pengawet yang banyak digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan menggunaka garam, asam, dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Kemudian dikenal penggunaan bahan pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula. Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan toksik. Bahan pengawet akan mememngaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh konsentrasi bahan pengawet yang digunakan. Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut :
1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen.
2. Memperpanjang umur simpan pangan.
3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.
4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.
5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.
6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. Keamanan senyawa-senyawa kimia dalam bahan pangan sangat perlu diperhatikan, baik senyawa kimia yang ditambahkan dari luar bahan pangan maupun senyawa kimia yang terdapat secara alami dalam bahan pangan itu sendiri.
10 tahun terakhir banyak diadakan penelitian tentang bagaimana mekanisme suatu zat yang bisa berpotensi sebagai pengawet makanan. Penelitian Kiran (2016) meneliti tentang Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil. Dalam penelitiannya Kiran dan tim yang berasal dari Institut Sains Banaran Hindu University, India meneliti tentang CZEO yang berasal dari daun Cinnamomum zeylanicum yang diekstrak, hidrodistilasi clevenger, dan dipisahkan oleh senyawa anhydrous sodium sulphate, kemudian didapat EO dan disterilisasi di kaca vial 4˚C dan diinkubasi. Hasil yang didapatkan setelah tim peneliti menyiapkan perlakuan gandum dan mengkultur kapang atau mikoflora yang dapat mendegradasi gandum. Setelah diberi perlakuan CZEO, senyawa ini dapat dijadikan alternatif pengawet organik untuk gandum karena mengadung antioksidan spesifik yang secara proses dapat menghambat sekresi aflotoxin b1 dari beberapa mikoflora atau kapang yang berpotensi sebagai racun dan mengoksidasi makanan.
Terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet kimiawi lainnya, selain persyaratan yang dituntut untuk semua bahan tambahan pangan, antara lain sebagai berikut :
1. Memberi arti ekonomis dari pengawetan (secara ekonomis menguntungkan).
2. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak mencukupi atau tidak tersedia.
3. Memperpanjang umur simpan dalam pangan.
4. Tidak menurunkan kualitas (warna, cita rasa, dan bau) bahan pangan yang diawetkan.
5. Mudah dilarutkan.
6. Menunjukkan sifat-sifat antimikroba pada jenjang pH bahan pangan yang diawetkan.
7. Aman dalam jumlah yang diperlukan.
8. Mudah ditentukan dengan analisis kimia.
9. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan.
10. Tidak mengalami dekomposisi atau tidak bereaksi untuk membentuk suatu senyawa kompleks yang bersifat lebih toksik.
11. Mudah dikontrol dan didistribusikan secara merata dalam bahan pangan.
12. Mempunyai spektra antimikroba yang luas, meliputi macam-macam pembusukan oleh mikroba yang berhubungan dengan bahan pangan yang diawetkan.
Melihat persyaratan tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa penambahan bahan pengawet pada bahan pangan adalah untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan tanpa menurunkan kualitas dan tanpa mengganggu kesehatan. Penggunaan bahan pengawet untuk mengawetkan bahan pangan ini diharapkan tidak akan menambah atau sangat sedikit menambah biaya produksi, dan tidak akan mempengaruhi harga bahan pangan yang diawetkan, tetapi pengusaha mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari lamanya umur simpan sehingga bahan pangan yang diawetkan tersebut dapat terjual cukup banyak dibandingkan tanpa pengawetan (Winarno, 1982).
Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk daging, buah-buahan, dan lain-lain. Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa  atau bahan yang mampu menghambat, menahan atau menghentikan, dan memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukkan (Cahyadi, 2008).

Bahan Pengawet Organik
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan gangguan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikroba yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila penggunaan jenis pengawet dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi si pemakai. Misalnya, keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan bersifat karsinogenik.
Efek beberapa pengawet pangan terhadap kesehatan :
a. Asam benzoat dan garamnya ( Ca, K, dan Na )
Metabolisme ini meliputi dua tahap reaksi, pertama dikatalisis oleh enzim syntetase dan pada reaksi kedua dikatalisi oleh enzim acytransferase. Asam hipurat yang disinpengujiana dalam hati ini, kemudian diekskresikan melalui urin. Jadi, di dalam tubuh tidak terjadi penumpukan asam benzoat, sisa asam benzoat yang tidak diekskresi sebagai asam hipurat dihilangkan toksisitasnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan diekskresi melalui urin. Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung.
b. Asam sorbat dan garamnya
Asam sorbat dalam tubuh dimetabolisme seperti asam lemak biasa, dan tidak bereaksi sebagai antimetabolit. Rendahnya tingkat toksisitas, memberikan kenyataan bahwa asam sorbat dan sorbat dimetabolisme seperti asam lemak lainnya. Pada kondisi yang ekstrem (suhu dan konsentrasi sorbat tinggi) asam sorbat dapat bereaksi dengan nitrit membentuk produk mutagen yang tidak terdeteksi di bawah kondisi normal penggunaan. Asam sorbat juga  kemungkinan
memeberikan efek iritasi kulit apabila langsung dipakai pada kulit, sedangkan untuk garam sorbat belum diketahui efeknya terhadap tubuh.
c. Asam propionat dan garamnya
Asam propionat dalam tubuh dimetabolisme menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti pada asam lemak menjadi CO2 dan H2O. natrium propionat apabila diberikan dalam dosis per oral sehari 6 gram untuk laki-laki tidak menimbulkan toksik, namun asam propionat dan garamnya memepunyai aktivitas anti histamin lokal. Natrium dan kalium propionat dilaporkan ada hubungan antara pemakaian propionat dengan migrain, sedangkan untuk kalsium propionat tidak diketahui efek pemakainnya terhadap kesehatan.
d. Ester dan asam benzoat ( paraben )
Ester asam benzoat (metil-p-hidroksi benzoat dan propil-p-hidroksi benzoat) memeberikan gangguan berupa reaksi yang spesifik. Ester asam benzoat (paraben) pada pemakaiannya memberikan efek terhadap kesehatan dengan timbulnya reaksi alergi pada mulut dan kulit.
e. Nisin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hara dkk, di jepang tahun 1992, didapat harga LD50 pada tikus kira-kira 7g/kg berat badan, kemudian dikonfirmasi bahwa nisin tidak menimbulkan efek. Pada tahun 1969, para ahli dari FAO/WHO dapat menerima nisin sebagai bahan tambahan pangan. Namun, perlu juga diperhatikan timbulnya neprotoksik akhir-akhir ini.
Bahan Pengawet Anorganik
Penetapan apakah tambahan yang digunakan untuk bahan pangan pada batas aman dari segi kesehatan maka diperlukan 2 tahap pengujian toksisitas terhadap bahan tambahan yang dimaksud. Pertama, pengumpulan data yang relevan yang diperoleh dari percobaan laboratorium dengan hewan percobaan, dan apabila mungkin dari hasil pengamatan pada manusia. Kedua, interpretasi dan analisis data untuk memperoleh kesimpulan tentang akseptabilitas atau penolakan bahan yang diuji sebagai bahan tambahan pangan, dengan prosedur pengujian yang telah ditetapkan dan dapat dirumuskan pula konsep jumlah yang diperkenankan untuk dikonsumsi setiap harinya atau dengan istilah Acceptable Daily Intake (ADI). Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa anak-anak pengidap asma ternyata hipersinsitivitas atau intoleransinya terhadap pengawet lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa. Untuk mengurangi resiko kambuhnya penyakit bagi pengidap asma adalah memilih bahan pangan yang bebas dari belerang dioksida khususnya, dan bahan tambahan pangan lain pada umumnya (Cahyadi, 2008).
Natrium Benzoat
Rumus kimia natrium benzoat yaitu C7H5NaO2, banyak terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan sayuran. Termasuk kedalam zat pengawet organik. Pengawet yang banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan bebagai bahan makanan adalah benzoat, yang biasanya terdapat dalam bentuk natrium benzoat dan kalium benzoat karena lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dan lain-lain (Cahyadi, 2008). Garam atau ester dari asam benzoat secara komersil dibuat dengan sintesis kimia. Bentuk aslinya asam benzoat terjadi secara alami dalam bahan gum benzoin. Natrium benzoat berwarna putih, granula tanpa bau, bubuk kristal atau serpihan dan lebih larut dalam air dibandingkan asam benzoat dan jugah dapat larut dalam alkohol. Dalam bahan pangan garam benzoat terurai menjadi lebih efektif dalam bentuk asam benzoatyang tidak terdisosiasi. Memiliki fungsi sebagai anti mikroba yang optimum pada pH 2,5-4,0 untuk menghambat pertumbuhan kapang dan khamir.
Asam benzoat sangat sedikit larut dalam air dingin tetapi larut dalam air panas, dimana ia akan mengkristal setelah didinginkan; asam benzoat larut dalam alkohol dan eter dan jika direaksikan dengan larutan besi klorida akan memebentuk endapan besi benzoat basa berwarna jingga kekuningan dan larutanlarutan netral. Selain berfungsi sebagai bahan pengawet, asam benzoat juga berperan sebagai anti oksidan karena pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai dengan gugus hidroksik atau gugus amina. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi, dengan penambahan antioksidan maka energi persenyawaan aktif ditampung oleh antioksidan sehingga reaksi oksidasi berhenti. Dalam tubuh terdapat mekanisme detoksifikasi terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh. Asam benzoat secara alami terdapat dalam rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis (Winarno, 1980).

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88
Winarno, 1980. Pangan, Gizi, Teknologi dan konsumsi. Jakarta; Gramedia
               Pustaka
Cahyadi, 2008. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi
               Aksara. Jakarta.
Kiran, S. Kujur, A. Prakash, B. 2016. Assessment of preservative potential of
               Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil against food borne molds,
               aflatoxin B1 synthesis, its functional properties and mode of action.
               Innovative Food Science and Emerging Technologies. India.
               10.1016/j.ifset.2016.08.018
Margono, 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Screening Mikrobiologi

S creening adalah sejenis tes yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik atau mikroorganisme dalam sejumlah besar spesimen....