Pengolahan dan pengawetan bahan
makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka Tidak
mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu
berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah
satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang
dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Seiring
dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan dalam
hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya
teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehingga tidak mempunyai
banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan
bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Dalam keadaaan demikian, makanan
cepat saji (instan) yang telah diolah dipabrik atau telah diawetkan banyak
manfatnya bagi masyarakat itu sendiri.
Bahan pengawet umumnya digunakan
untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat
menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian
yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya
pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan
atau memperbaiki tekstur. Pengertian bahan pengawet sangat bervariasi
tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet.
Meskipun demikian, penggunaan bahan pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu
mempertahankan kualitas dan memeperpanjang umur simpan bahan pangan. Bahan
pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghenrtikan proses
fermentasi, pengasaman, atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat
memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan (Margono, 2000).
PEMBAHASAN
Pengawet yang banyak digunakan
untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya terdapat
dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah
larut. Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling
tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk
mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan
menggunaka garam, asam, dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Kemudian
dikenal penggunaan bahan pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan
mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula. Secara ideal, bahan pengawet
akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting kemudian memecah senyawa
berbahaya menjadi tidak berbahaya dan toksik. Bahan pengawet akan mememngaruhi
dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Derajat
penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan
jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh
konsentrasi bahan pengawet yang digunakan. Secara umum penambahan bahan
pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut :
1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada
pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen.
2. Memperpanjang umur simpan pangan.
3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa,
dan bau bahan pangan yang diawetkan.
4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang
berkualitas rendah.
5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan
bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.
6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan
bahan pangan. Keamanan senyawa-senyawa kimia dalam bahan pangan sangat perlu diperhatikan,
baik senyawa kimia yang ditambahkan dari luar bahan pangan maupun senyawa kimia
yang terdapat secara alami dalam bahan pangan itu sendiri.
10 tahun terakhir banyak diadakan
penelitian tentang bagaimana mekanisme suatu zat yang bisa berpotensi sebagai
pengawet makanan. Penelitian Kiran (2016) meneliti tentang Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil. Dalam penelitiannya
Kiran dan tim yang berasal dari Institut Sains Banaran Hindu University, India meneliti
tentang CZEO yang berasal dari daun Cinnamomum
zeylanicum yang diekstrak, hidrodistilasi
clevenger, dan dipisahkan oleh senyawa anhydrous
sodium sulphate, kemudian didapat EO dan disterilisasi di kaca vial 4˚C dan
diinkubasi. Hasil yang didapatkan setelah tim peneliti menyiapkan perlakuan
gandum dan mengkultur kapang atau mikoflora yang dapat mendegradasi gandum.
Setelah diberi perlakuan CZEO, senyawa ini dapat dijadikan alternatif pengawet
organik untuk gandum karena mengadung antioksidan spesifik yang secara proses
dapat menghambat sekresi aflotoxin b1 dari beberapa mikoflora atau kapang yang
berpotensi sebagai racun dan mengoksidasi makanan.
Terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet
kimiawi lainnya, selain persyaratan yang dituntut untuk semua bahan tambahan
pangan, antara lain sebagai berikut :
1. Memberi arti ekonomis dari pengawetan (secara
ekonomis menguntungkan).
2. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang
lain tidak mencukupi atau tidak tersedia.
3. Memperpanjang umur simpan dalam pangan.
4. Tidak menurunkan kualitas (warna, cita rasa, dan
bau) bahan pangan yang diawetkan.
5. Mudah dilarutkan.
6. Menunjukkan sifat-sifat antimikroba pada jenjang
pH bahan pangan yang diawetkan.
7. Aman dalam jumlah yang diperlukan.
8. Mudah ditentukan dengan analisis kimia.
9. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan.
10. Tidak mengalami dekomposisi atau tidak bereaksi
untuk membentuk suatu senyawa kompleks yang bersifat lebih toksik.
11. Mudah dikontrol dan didistribusikan secara
merata dalam bahan pangan.
12. Mempunyai spektra antimikroba yang luas,
meliputi macam-macam pembusukan oleh mikroba yang berhubungan dengan bahan
pangan yang diawetkan.
Melihat persyaratan tersebut di
atas, dapatlah dikatakan bahwa penambahan bahan pengawet pada bahan pangan
adalah untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan tanpa menurunkan kualitas
dan tanpa mengganggu kesehatan. Penggunaan bahan pengawet untuk mengawetkan
bahan pangan ini diharapkan tidak akan menambah atau sangat sedikit menambah
biaya produksi, dan tidak akan mempengaruhi harga bahan pangan yang diawetkan,
tetapi pengusaha mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari lamanya umur
simpan sehingga bahan pangan yang diawetkan tersebut dapat terjual cukup banyak
dibandingkan tanpa pengawetan (Winarno, 1982).
Bahan pengawet adalah bahan
tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi,
pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan
yang mudah rusak, atau makanan yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri
atau jamur, misalnya pada produk daging, buah-buahan, dan lain-lain. Definisi
lain bahan pengawet adalah senyawa atau
bahan yang mampu menghambat, menahan atau menghentikan, dan memberikan
perlindungan bahan makanan dari proses pembusukkan (Cahyadi, 2008).
Bahan
Pengawet Organik
Pemakaian bahan pengawet dari satu
sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet bahan pangan dapat dibebaskan
dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan
gangguan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikroba yang
nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Namun dari sisi lain,
bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing
yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila penggunaan jenis
pengawet dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi si pemakai.
Misalnya, keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan
bersifat karsinogenik.
Efek beberapa pengawet pangan terhadap kesehatan :
a. Asam benzoat dan garamnya ( Ca, K, dan Na )
Metabolisme ini meliputi dua tahap
reaksi, pertama dikatalisis oleh enzim syntetase dan pada reaksi kedua
dikatalisi oleh enzim acytransferase. Asam hipurat yang disinpengujiana dalam
hati ini, kemudian diekskresikan melalui urin. Jadi, di dalam tubuh tidak
terjadi penumpukan asam benzoat, sisa asam benzoat yang tidak diekskresi
sebagai asam hipurat dihilangkan toksisitasnya berkonjugasi dengan asam
glukoronat dan diekskresi melalui urin. Pada penderita asma dan orang yang
menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi
dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung.
b. Asam sorbat dan garamnya
Asam sorbat dalam tubuh
dimetabolisme seperti asam lemak biasa, dan tidak bereaksi sebagai
antimetabolit. Rendahnya tingkat toksisitas, memberikan kenyataan bahwa asam
sorbat dan sorbat dimetabolisme seperti asam lemak lainnya. Pada kondisi yang
ekstrem (suhu dan konsentrasi sorbat tinggi) asam sorbat dapat bereaksi dengan
nitrit membentuk produk mutagen yang tidak terdeteksi di bawah kondisi normal
penggunaan. Asam sorbat juga kemungkinan
memeberikan efek iritasi kulit apabila langsung
dipakai pada kulit, sedangkan untuk garam sorbat belum diketahui efeknya
terhadap tubuh.
c. Asam propionat dan garamnya
Asam propionat dalam tubuh
dimetabolisme menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti pada asam lemak
menjadi CO2 dan H2O. natrium propionat apabila diberikan dalam dosis per oral
sehari 6 gram untuk laki-laki tidak menimbulkan toksik, namun asam propionat
dan garamnya memepunyai aktivitas anti histamin lokal. Natrium dan kalium
propionat dilaporkan ada hubungan antara pemakaian propionat dengan migrain,
sedangkan untuk kalsium propionat tidak diketahui efek pemakainnya terhadap
kesehatan.
d. Ester dan asam benzoat ( paraben )
Ester asam benzoat (metil-p-hidroksi benzoat dan propil-p-hidroksi benzoat) memeberikan
gangguan berupa reaksi yang spesifik. Ester asam benzoat (paraben) pada
pemakaiannya memberikan efek terhadap kesehatan dengan timbulnya reaksi alergi
pada mulut dan kulit.
e. Nisin
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Hara dkk, di jepang tahun 1992, didapat harga LD50 pada tikus kira-kira 7g/kg
berat badan, kemudian dikonfirmasi bahwa nisin tidak menimbulkan efek. Pada
tahun 1969, para ahli dari FAO/WHO dapat menerima nisin sebagai bahan tambahan
pangan. Namun, perlu juga diperhatikan timbulnya neprotoksik akhir-akhir ini.
Bahan
Pengawet Anorganik
Penetapan apakah tambahan yang
digunakan untuk bahan pangan pada batas aman dari segi kesehatan maka
diperlukan 2 tahap pengujian toksisitas terhadap bahan tambahan yang dimaksud.
Pertama, pengumpulan data yang relevan yang diperoleh dari percobaan
laboratorium dengan hewan percobaan, dan apabila mungkin dari hasil pengamatan
pada manusia. Kedua, interpretasi dan analisis data untuk memperoleh kesimpulan
tentang akseptabilitas atau penolakan bahan yang diuji sebagai bahan tambahan
pangan, dengan prosedur pengujian yang telah ditetapkan dan dapat dirumuskan
pula konsep jumlah yang diperkenankan untuk dikonsumsi setiap harinya atau
dengan istilah Acceptable Daily Intake (ADI). Suatu hasil penelitian menyatakan
bahwa anak-anak pengidap asma ternyata hipersinsitivitas atau intoleransinya
terhadap pengawet lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa. Untuk
mengurangi resiko kambuhnya penyakit bagi pengidap asma adalah memilih bahan
pangan yang bebas dari belerang dioksida khususnya, dan bahan tambahan pangan
lain pada umumnya (Cahyadi, 2008).
Natrium
Benzoat
Rumus kimia natrium benzoat yaitu
C7H5NaO2, banyak terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan sayuran. Termasuk
kedalam zat pengawet organik. Pengawet yang banyak dijual dipasaran dan
digunakan untuk mengawetkan bebagai bahan makanan adalah benzoat, yang biasanya
terdapat dalam bentuk natrium benzoat dan kalium benzoat karena lebih mudah
larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman
seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli,
manisan, kecap, dan lain-lain (Cahyadi, 2008). Garam atau ester dari asam
benzoat secara komersil dibuat dengan sintesis kimia. Bentuk aslinya asam
benzoat terjadi secara alami dalam bahan gum benzoin. Natrium benzoat berwarna
putih, granula tanpa bau, bubuk kristal atau serpihan dan lebih larut dalam air
dibandingkan asam benzoat dan jugah dapat larut dalam alkohol. Dalam bahan
pangan garam benzoat terurai menjadi lebih efektif dalam bentuk asam
benzoatyang tidak terdisosiasi. Memiliki fungsi sebagai anti mikroba yang
optimum pada pH 2,5-4,0 untuk menghambat pertumbuhan kapang dan khamir.
Asam benzoat sangat sedikit larut
dalam air dingin tetapi larut dalam air panas, dimana ia akan mengkristal
setelah didinginkan; asam benzoat larut dalam alkohol dan eter dan jika
direaksikan dengan larutan besi klorida akan memebentuk endapan besi benzoat
basa berwarna jingga kekuningan dan larutanlarutan netral. Selain berfungsi
sebagai bahan pengawet, asam benzoat juga berperan sebagai anti oksidan karena
pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung
cincin benzena tidak jenuh disertai dengan gugus hidroksik atau gugus amina.
Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi, dengan penambahan
antioksidan maka energi persenyawaan aktif ditampung oleh antioksidan sehingga
reaksi oksidasi berhenti. Dalam tubuh terdapat mekanisme detoksifikasi terhadap
asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan
bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh. Asam
benzoat secara alami terdapat dalam rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu
manis (Winarno, 1980).
DAFTAR
PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/88
Winarno, 1980. Pangan, Gizi, Teknologi dan konsumsi. Jakarta; Gramedia
Pustaka
Pustaka
Cahyadi, 2008. Analisis
Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi
Aksara. Jakarta.
Aksara. Jakarta.
Kiran, S. Kujur, A. Prakash, B. 2016. Assessment of
preservative potential of
Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil against food borne molds,
aflatoxin B1 synthesis, its functional properties and mode of action.
Innovative Food Science and Emerging Technologies. India.
10.1016/j.ifset.2016.08.018
Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil against food borne molds,
aflatoxin B1 synthesis, its functional properties and mode of action.
Innovative Food Science and Emerging Technologies. India.
10.1016/j.ifset.2016.08.018
Margono, 2000. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar