Minggu, 16 Februari 2020

Pengawetan Makanan (Kajian Pustaka)


Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka Tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Dalam keadaaan demikian, makanan cepat saji (instan) yang telah diolah dipabrik atau telah diawetkan banyak manfatnya bagi masyarakat itu sendiri.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur. Pengertian bahan pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian, penggunaan bahan pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan memeperpanjang umur simpan bahan pangan. Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghenrtikan proses fermentasi, pengasaman, atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan (Margono, 2000).



PEMBAHASAN
Pengawet yang banyak digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan menggunaka garam, asam, dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Kemudian dikenal penggunaan bahan pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula. Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan toksik. Bahan pengawet akan mememngaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh konsentrasi bahan pengawet yang digunakan. Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut :
1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen.
2. Memperpanjang umur simpan pangan.
3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.
4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.
5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.
6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. Keamanan senyawa-senyawa kimia dalam bahan pangan sangat perlu diperhatikan, baik senyawa kimia yang ditambahkan dari luar bahan pangan maupun senyawa kimia yang terdapat secara alami dalam bahan pangan itu sendiri.
10 tahun terakhir banyak diadakan penelitian tentang bagaimana mekanisme suatu zat yang bisa berpotensi sebagai pengawet makanan. Penelitian Kiran (2016) meneliti tentang Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil. Dalam penelitiannya Kiran dan tim yang berasal dari Institut Sains Banaran Hindu University, India meneliti tentang CZEO yang berasal dari daun Cinnamomum zeylanicum yang diekstrak, hidrodistilasi clevenger, dan dipisahkan oleh senyawa anhydrous sodium sulphate, kemudian didapat EO dan disterilisasi di kaca vial 4˚C dan diinkubasi. Hasil yang didapatkan setelah tim peneliti menyiapkan perlakuan gandum dan mengkultur kapang atau mikoflora yang dapat mendegradasi gandum. Setelah diberi perlakuan CZEO, senyawa ini dapat dijadikan alternatif pengawet organik untuk gandum karena mengadung antioksidan spesifik yang secara proses dapat menghambat sekresi aflotoxin b1 dari beberapa mikoflora atau kapang yang berpotensi sebagai racun dan mengoksidasi makanan.
Terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet kimiawi lainnya, selain persyaratan yang dituntut untuk semua bahan tambahan pangan, antara lain sebagai berikut :
1. Memberi arti ekonomis dari pengawetan (secara ekonomis menguntungkan).
2. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak mencukupi atau tidak tersedia.
3. Memperpanjang umur simpan dalam pangan.
4. Tidak menurunkan kualitas (warna, cita rasa, dan bau) bahan pangan yang diawetkan.
5. Mudah dilarutkan.
6. Menunjukkan sifat-sifat antimikroba pada jenjang pH bahan pangan yang diawetkan.
7. Aman dalam jumlah yang diperlukan.
8. Mudah ditentukan dengan analisis kimia.
9. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan.
10. Tidak mengalami dekomposisi atau tidak bereaksi untuk membentuk suatu senyawa kompleks yang bersifat lebih toksik.
11. Mudah dikontrol dan didistribusikan secara merata dalam bahan pangan.
12. Mempunyai spektra antimikroba yang luas, meliputi macam-macam pembusukan oleh mikroba yang berhubungan dengan bahan pangan yang diawetkan.
Melihat persyaratan tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa penambahan bahan pengawet pada bahan pangan adalah untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan tanpa menurunkan kualitas dan tanpa mengganggu kesehatan. Penggunaan bahan pengawet untuk mengawetkan bahan pangan ini diharapkan tidak akan menambah atau sangat sedikit menambah biaya produksi, dan tidak akan mempengaruhi harga bahan pangan yang diawetkan, tetapi pengusaha mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari lamanya umur simpan sehingga bahan pangan yang diawetkan tersebut dapat terjual cukup banyak dibandingkan tanpa pengawetan (Winarno, 1982).
Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk daging, buah-buahan, dan lain-lain. Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa  atau bahan yang mampu menghambat, menahan atau menghentikan, dan memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukkan (Cahyadi, 2008).

Bahan Pengawet Organik
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan gangguan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikroba yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila penggunaan jenis pengawet dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi si pemakai. Misalnya, keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan bersifat karsinogenik.
Efek beberapa pengawet pangan terhadap kesehatan :
a. Asam benzoat dan garamnya ( Ca, K, dan Na )
Metabolisme ini meliputi dua tahap reaksi, pertama dikatalisis oleh enzim syntetase dan pada reaksi kedua dikatalisi oleh enzim acytransferase. Asam hipurat yang disinpengujiana dalam hati ini, kemudian diekskresikan melalui urin. Jadi, di dalam tubuh tidak terjadi penumpukan asam benzoat, sisa asam benzoat yang tidak diekskresi sebagai asam hipurat dihilangkan toksisitasnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan diekskresi melalui urin. Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung.
b. Asam sorbat dan garamnya
Asam sorbat dalam tubuh dimetabolisme seperti asam lemak biasa, dan tidak bereaksi sebagai antimetabolit. Rendahnya tingkat toksisitas, memberikan kenyataan bahwa asam sorbat dan sorbat dimetabolisme seperti asam lemak lainnya. Pada kondisi yang ekstrem (suhu dan konsentrasi sorbat tinggi) asam sorbat dapat bereaksi dengan nitrit membentuk produk mutagen yang tidak terdeteksi di bawah kondisi normal penggunaan. Asam sorbat juga  kemungkinan
memeberikan efek iritasi kulit apabila langsung dipakai pada kulit, sedangkan untuk garam sorbat belum diketahui efeknya terhadap tubuh.
c. Asam propionat dan garamnya
Asam propionat dalam tubuh dimetabolisme menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti pada asam lemak menjadi CO2 dan H2O. natrium propionat apabila diberikan dalam dosis per oral sehari 6 gram untuk laki-laki tidak menimbulkan toksik, namun asam propionat dan garamnya memepunyai aktivitas anti histamin lokal. Natrium dan kalium propionat dilaporkan ada hubungan antara pemakaian propionat dengan migrain, sedangkan untuk kalsium propionat tidak diketahui efek pemakainnya terhadap kesehatan.
d. Ester dan asam benzoat ( paraben )
Ester asam benzoat (metil-p-hidroksi benzoat dan propil-p-hidroksi benzoat) memeberikan gangguan berupa reaksi yang spesifik. Ester asam benzoat (paraben) pada pemakaiannya memberikan efek terhadap kesehatan dengan timbulnya reaksi alergi pada mulut dan kulit.
e. Nisin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hara dkk, di jepang tahun 1992, didapat harga LD50 pada tikus kira-kira 7g/kg berat badan, kemudian dikonfirmasi bahwa nisin tidak menimbulkan efek. Pada tahun 1969, para ahli dari FAO/WHO dapat menerima nisin sebagai bahan tambahan pangan. Namun, perlu juga diperhatikan timbulnya neprotoksik akhir-akhir ini.
Bahan Pengawet Anorganik
Penetapan apakah tambahan yang digunakan untuk bahan pangan pada batas aman dari segi kesehatan maka diperlukan 2 tahap pengujian toksisitas terhadap bahan tambahan yang dimaksud. Pertama, pengumpulan data yang relevan yang diperoleh dari percobaan laboratorium dengan hewan percobaan, dan apabila mungkin dari hasil pengamatan pada manusia. Kedua, interpretasi dan analisis data untuk memperoleh kesimpulan tentang akseptabilitas atau penolakan bahan yang diuji sebagai bahan tambahan pangan, dengan prosedur pengujian yang telah ditetapkan dan dapat dirumuskan pula konsep jumlah yang diperkenankan untuk dikonsumsi setiap harinya atau dengan istilah Acceptable Daily Intake (ADI). Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa anak-anak pengidap asma ternyata hipersinsitivitas atau intoleransinya terhadap pengawet lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa. Untuk mengurangi resiko kambuhnya penyakit bagi pengidap asma adalah memilih bahan pangan yang bebas dari belerang dioksida khususnya, dan bahan tambahan pangan lain pada umumnya (Cahyadi, 2008).
Natrium Benzoat
Rumus kimia natrium benzoat yaitu C7H5NaO2, banyak terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan sayuran. Termasuk kedalam zat pengawet organik. Pengawet yang banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan bebagai bahan makanan adalah benzoat, yang biasanya terdapat dalam bentuk natrium benzoat dan kalium benzoat karena lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dan lain-lain (Cahyadi, 2008). Garam atau ester dari asam benzoat secara komersil dibuat dengan sintesis kimia. Bentuk aslinya asam benzoat terjadi secara alami dalam bahan gum benzoin. Natrium benzoat berwarna putih, granula tanpa bau, bubuk kristal atau serpihan dan lebih larut dalam air dibandingkan asam benzoat dan jugah dapat larut dalam alkohol. Dalam bahan pangan garam benzoat terurai menjadi lebih efektif dalam bentuk asam benzoatyang tidak terdisosiasi. Memiliki fungsi sebagai anti mikroba yang optimum pada pH 2,5-4,0 untuk menghambat pertumbuhan kapang dan khamir.
Asam benzoat sangat sedikit larut dalam air dingin tetapi larut dalam air panas, dimana ia akan mengkristal setelah didinginkan; asam benzoat larut dalam alkohol dan eter dan jika direaksikan dengan larutan besi klorida akan memebentuk endapan besi benzoat basa berwarna jingga kekuningan dan larutanlarutan netral. Selain berfungsi sebagai bahan pengawet, asam benzoat juga berperan sebagai anti oksidan karena pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai dengan gugus hidroksik atau gugus amina. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi, dengan penambahan antioksidan maka energi persenyawaan aktif ditampung oleh antioksidan sehingga reaksi oksidasi berhenti. Dalam tubuh terdapat mekanisme detoksifikasi terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh. Asam benzoat secara alami terdapat dalam rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis (Winarno, 1980).

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88
Winarno, 1980. Pangan, Gizi, Teknologi dan konsumsi. Jakarta; Gramedia
               Pustaka
Cahyadi, 2008. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi
               Aksara. Jakarta.
Kiran, S. Kujur, A. Prakash, B. 2016. Assessment of preservative potential of
               Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil against food borne molds,
               aflatoxin B1 synthesis, its functional properties and mode of action.
               Innovative Food Science and Emerging Technologies. India.
               10.1016/j.ifset.2016.08.018
Margono, 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Screening Mikrobiologi

S creening adalah sejenis tes yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik atau mikroorganisme dalam sejumlah besar spesimen....